Di media cetak, televisi bahkan di stasiun-stasiun radio kita sering mendengar kata-kata ajeg Bali. Masyarakat Bali begitu antusias dan menggebu-gebu menyuarakan slogan ajeg Bali. Hal tersebut adalah suatu tekad yang luhur dimana masyarakat Bali menghendaki kehidupan yang sejahtera dan makmur di Pulau Bali.
Namun penulis belum pernah mendengar dari seseorang ataupun kelompok masyarakat, ajeg Bali itu kerangkanya atau penjabarannya seperti apa dan menurut pengamatan penulis yang menyuarakan ajeg Bali selama ini hanyalah orang-orang Bali asli yang beragama Hindu saja sedangkan seperti kita sadari bahwa penduduk Bali banyak yang bukan orang Bali asli yang telah turun temurun berada di Bali dan beragama bukan Hindu.
Penulis menganalogikan Masyarakat Bali sebagai sebuah keluarga, dimana sebuah keluarga tentunya terdiri dari Ayah sebagai kepala keluarga, ibu dan anak-anak sebagai anggota keluarga.
Yang pertama yang harus mengajegkan keluarga adalah sang ayah sehingga pigur seorang ayah harus mampu bertindak sebagai seorang manager, mampu dan bersedia menjadi suri tauladan bagi anggota keluarganya.
Mencermati contoh tersebut di atas secara pribadi penulis berpendapat bahwa agar ajeg Bali ini benar-benar menjadi suatu kenyataan maka masyarakat Bali harus mempunyai seorang Pemimpin Utama yang berperan sebagai Ayah yang nantinya mampu sebagai Koordinator dari semua Klan, Agama, Sekta dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di Bali.
Perihal Pemimpin Utama pulau Bali ini penulis melalui media ini mencoba menyajikan data yang dirangkum dari buku-buku babad/sejarah yang ada dan beredar luas di Bali saat ini, sebagai berikut :
Yang menjadi Raja I di Bali tahun 916 M adalah Sri Kesari Warmadewa (Dalem Wira Sri Kesari). Beliau inilah merupakan cikal bakal Dinasti Warmadewa di Bali.
Keturunan beliau yang paling terkenal adalah Prabu Udayana dengan permaisurinya Mahendradata (Sri Dewi Guna Prya Dharmapatni), dari Kerajaan Kediri Jawa Timur. Beliau memerintah dari tahun 989 – 1011 M.
Kerajaan Kediri merupakan kelanjutan dari Kerajaan Medang Kemulan atau Mataram yang dahulu berada di Jawa Tengah.
Raja I dari Kerajaan Medang Kemulan (tahun 608 M) adalah Sri Wisnu Wangsa yang berasal dari India keturunan dari Bhatara Dewa Guru (Prabu Aji Caka).
Prabu Udayana dan Mehendradata ini adalah Raja suami Isteri artinya Mahendradata bukan hanya sebagai Permaisuri akan tetapi beliau juga dinobatkan/diabiseka menjadi Raja.
Pada era pemerintahan raja suami isteri ini di Bali terjadi kemajemukan keyakinan yaitu terdapat 6 buah keyakinan, dimana Prabu Udayana sendiri beragama Budha sedangkan Mahendradata beragama Hindu. Guna menjamin keselarasan dan keharmonisan diantara penganut aliran keagamaan Prabu Udayana kemudian mendatangkan 4 orang Pendeta (dari 5 orang bersaudara) dari Jawa Timur yaitu Mpu Gnijaya (Brahmana Pandita) beraliran Brahmanisme, Mpu Mahameru (Mpu Sumeru) beraliran Ciwa, Mpu Ghana beraliran Ghanapatya, Mpu Kuturan (Mpu Rajakretha) beraliran Budha Mahayana, sedangkan yang bungsu bernama Mpu Baradah (Mpu Peradah) tidak diminta oleh Prabu Udayana, akan tetapi pada periode pemerintahan raja-raja Bali berikutnya keturunan beliau datang dan menetap di Bali. Mpu Bradah tinggal di Lemahtulis, Pejarakan, Jawa Timur
Keturunan ke 5 Pendeta ini kemudian menjadi leluhur sebagian besar dari penduduk Bali saat ini seperti Mpu Gnijaya menurunkan antara lain Dukuh Suladri, Dukuh Sakti Pahang, Pasek Badak, Pasek Tohjiwa, Mangku Sangkulputih (Pemangku di Besakih), Dukuh Sorga, Ken Dedes (Isteri Prabu Tunggul Ametung), Pasek Penataran, Kiyayi Gusti Bendesa Mas, Kiyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel, Tangkas Kori Agung, Pasek Tutwan, De Pasek Lurah Kubayan di Wongaya, Pasek Salahin, Ki Dukuh Belatung, Ki Dukuh Gamongan, De Pasek Lurah Gaduh, De Pasek Lurah Ngukuhin dan De Pasek Lurah Kadangkan (Dulang Mangap).
Mpu Mahameru menurunkan Warga Kayuselem, Mpu Ghana nyukla Brahmacari, Mpu Kuturan menjabat sebagai Senapati dan mengepalai sebuah majelis yang disebut Pakira-kiran I jero mekabehan yang bertugas mencari solusi untuk menyatukan ke 6 aliran keyakinan tersebut di atas dan berhasil mencetuskan konsep Tri Murti atau Tri Sakti disertai dengan Pura Kahyangan Tiga atau Tri Kahyangan (Bale Agung, Puseh dan Pura Dalem) dan menurunkan Dyah Ratna Mengali yang menikah dengan Mpu Bahula (anak dari Mpu Bharadah), Mpu Bharadah berputera Mpu Tantular yang selanjutnya menurunkan antara lain Ida Kaniten, Arya Wang Bang, Arya Sidemen, Mpu Nirartha yang selanjutnya menurunkan Warga Brahmana Ciwa dan Brahmana Budha, Adhipati Brambangan, Adhipati Pasuruan, Ratu Sumbawa, Adhipati Samprangan Bali yang selanjutnya menurunkan Satrya Dalem di Bali.
Untuk lebih jelasnya dapat disimak dalam Silsilah Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi yang dibuat oleh mendiang Bapak Jro Ktut Soebandi.
Prabu Udayana mempunyai 3 orang putra yang pertama adalah Sri Airlangga menikah dengan Diah Kili Suci yang selanjutnya menurunkan Raja-raja Kediri.
Adik Diah Kili Suci (ipar Prabu Airlangga) bernama Sri Kameswara, menurunkan Raja-raja Singosari dan kemudian dialihtahta oleh Raden Wijaya (cucu Mahesa Cempaka) dengan jalan menikahi ke 4 putri Prabu Kertanegara (Raja Singosari terakhir) menjadi Kerajaan Majapahit.
Diah Kili Suci dan Sri Kameswara adalah anak dari Prabu Teguh Darmawangsa ipar dari Prabu Udayana dimana Mahendradata bersaudara kandung dengan isterinya Teguh Dharmawangsa yang bernama Sri Dewi Makuta Wangsa Wardani, merupakan cicit/kompyang dari Empu Sendok, cucu dari Sri Isana Tungga Wijaya yang bersuamikan Sri Loka Pala yang berasal dari Bali.
Putra Prabu Airlangga yang ke 2 adalah Sri Marakata dan yang ke 3 adalah Sri Aji Anak Wungsu. menurunkan Raja-raja Bali Dinasti Warmadewa.
Dengan demikian Raja-raja Dinasti Kediri, Majapahit dan Warmadewa di Bali sesugguhnya masih sekeluarga dan cikal bakalnya berasal dari Dinasti Warmadewa, Dinasti Isana dan Dinasti Wisnuwangsa.
Keturunan Prabu Sri Aji Anak Wungsu yang bernama Prabu Sri Aji Jaya Pangus Arkaja Lancana yang memerintah tahun 1177 – 1181 M menikah dengan putri dari Cina sehingga Warga Keturunan Cina di Bali terikat bisama dengan keturunan raja-raja Bali Dinasti Warmadewa. Kisah cinta beliau menjadi legenda di Bali terbukti dengan adanya Barong Landung (Jero Lanang & Jero Istri) dan terjadi percampuran budaya dimana uang kepeng dari Cina (pis bolong) ikut dijadikan sarana upakara di Bali.
Raja Bali terakhir dari Dinasti Warmadewa adalah Asta Sura Ratna Bumi Banten (Sri Tapa Ulong /Gajah Waktra /Dalem Bedahulu) yang memerintah mulai tahun 1337 M.
Pada tahun 1343 M beliau ini berhasil ditundukkan oleh Raja Majapahit dengan Maha Patihnya Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa,
Dengan ditundukkannya Dalem Bedahulu oleh Raja Majapahit maka di Bali terjadi pergantian pemerintahan dari Dinasti Warmadewa ke Dinasti Majapahit.
Pergantian pemerintahan ini mendapat tentangan dari masyarakat Bali, karena walaupun Bali telah kalah oleh Majapahit atau siapapun yang berkuasa di Nusantara masyarakat Bali tetap menghendaki Keturunan Raja Kediri yang menjadi Raja di Bali.
Hal ini terkait dengan adanya bisama antara leluhur penduduk Bali Aga dan leluhur keturunan Panca Pandita serta warga Keturunan Cina di Bali dengan Raja Prabu Udayana.
Aspirasi masyarakat Bali ini disadari oleh Maha Patih Gajah Mada kemudian beliau mencalonkan dan mengusulkan kepada Raja Majapahit (Prabu Jaya Negara) agar Arya Kapakisan menjadi Raja di Bali. Prabu Jaya Negara tidak setuju dengan usulan Patih Gajah Mada ini karena beliau menjadikan Arya Kapakisan sebagai Pengabih beliau di istana Majapahit, karena Arya Kapakisan dinilai sebagai Ksatria Utama (Putra Mahkota Kerajaan Kediri), berkharisma dan digjaya.
Arya Kapakisan adalah putra dari Sri Sastrajaya (Raja Kediri/Aryeng Kediri, memerintah tahun 1268 – 1274 M), cucu dari Sri Jayasabha, keturunan Prabu Airlangga putra Prabu Udayana).
Oleh karena demikian keputusan Raja Majapahit maka Maha Patih Gajah Mada terpaksa mencari pigur baru untuk memimpin Bali .Sementara itu di Bali berdasarkan persetujuan diantara mantan-mantan petinggi di Bali sepakat menobatkan Pasek Gelgel menjadi pemimpin Bali dengan abiseka Kiyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel
(memerintah dari tahun 1343 – 1350 Masehi). Kepemimpinan Kiyayi Gusti Agung Pasek Gelgel mendapat tentangan dari para Ksatria dari Jawa yang pada saat itu menduduki Bali, karena Pasek Gelgel berada pada pihak yang kalah perang (Pasek Gelgel sebelumnya menjabat sebagai Amancabhumi dalam pemerintahan Dalem Bedahulu) sehingga tidak mendapat legitimasi dari Raja Majapahit.
Pada tahun 1350 M Maha Patih Gajah Mada telah menemukan pigur pemimpin di Bali, yaitu beliau mengusulkan dan mencalonkan agar putra dari Mpu Soma Kapakisan, cucu dari Dhang Hyang Kapakisan (Guru Kerokhanian Gajah Mada), yang berasal dari Desa Pakis, Jawa Timur, yang menjadi pemimpin di Bali. Usulan tersebut disetujui oleh Raja Majapahit sehingga mulai tahun 1350 M yang menjadi pemimpin Bali menggantikan Kiyayi I Gusti Agung Pasek Gelgel adalah Sri Kresna Kapakisan dengan jabatan Adhipati Bali dengan abiseka Dalem Ketut Sri Kresna Kapakisan/Dalem Samprangan (karena berkeraton di Samprangan/Samplangan yang saat ini berada di wilayah Kabupaten Gianyar)
Selama Dalem Ketut memerintah di Bali, selalu ada saja kelompok masyarakat yang memberontak sehingga Bali tetap tidak aman. Pemberontakan-pemberontakan tersebut semata-mata disebabkan hanya oleh karena masyarakat Bali menghendaki keturunan Raja Kediri yang menjadi Raja di Bali.
Sepertinya sudah kehendak Ida Sanghyang Widhi Wasa maka pada tahun 1352 M Raja Majapahit akhirnya merelakan Arya Kapakisan pergi ke Bali diiringi oleh 3 orang wesia yaitu Tan Kober, Tan Kawur dan Tan Mundur. Tan Kober akhirnya ditempatkan di Pacung, Tan Kawur di Abiansemal dan Tan Mundur di Cagahan.
Oleh karena Raja Kediri tunduk atas Majapahit maka Arya Kapakisan di Bali bukan menggantikan kedudukan Dalem sebagai pemimpin Bali akan tetapi beliau bertugas sebagai Pengabih Dalem yaitu sebagai Penasehat sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan (sedangkan Kepala Negaranya adalah Dalem) sama seperti tugas beliau pada saat berada di Istana Majapahit sehingga kedudukan beliau dikatagorikan sebagai Perdana Menteri atau Orang Kedua di Bali dengan abiseka Sri Nararya Kresna Kapakisan. Beliau berasal dari Desa yang sama dengan Dalem Ketut yaitu dari Desa Pakis, Jawa Timur.
Berita tentang telah datangnya keturunan Raja Kediri ke Bali disampaikan oleh Pasek Gelgel kepelosok-pelosok desa termasuk bimbingan, arahan dan kebijaksanaan-2nya karena semenjak Arya Kapakisan di Bali masyarakat mulai mendapatkan pembagian-pembagian baik itu tugas-tugas/jabatan/kedudukan, tanah dan harta lainnya. (Keseimbangan antara Kewajiban dan Hak).
Mulai tahun 1352 M sejak Arya Kapakisan berada di Bali, Bali menjadi :
AMAN TERKENDALI
Sesuai dengan fakta sejarah tersebut di atas maka penulis berkesimpulan seyogyanya yang menjadi Pemimpin Utama Bali (untuk mensukseskan Ajeg Bali) adalah keturunan dari ARYA KEPAKISAN karena beliau telah memiliki ikatan bisama (ikatan kesetiaan) dengan :
1. Masyarakat Bali Aga,
2. Keturunan Panca Pandita
(yang saat ini merupakan bagian terbesar penduduk Bali).
3. Warga Keturunan Cina
4. Maha Semaya Pande
Hal ini tertulis di dalam Buku Asal Usul Warga Pande di Bali tulisan Nyoman Wista Darmada dan Made Gede Sutama, penerbit CV Bali Media, hal 44 alinea terakhir disebutkan bahwa Warga Maha Semaya Pande memiliki bisama/ikatan kesetiaan dengan keturunan Arya Kapakisan.
Arya Kapakisan juga memiliki kerabat (pasemetonan) di Bali yang di dalam buku-buku babad disebut Ksatria Kahuripan yang ikut pada saat ekspedisi Gajah Mada ke Bali tahun 1343 M dan bahkan masing-masing telah mendapat kedudukan sebagai Menteri yaitu Arya Kenceng di Desa Buahan, Tabanan, Arya Sentong di Desa Pacung Carangsari, Badung, Arya Pudak (Arya Belog) di Desa Kaba-Kaba, Tabanan, Arya Kuthawaringin (keturunan Prabu Jayabaya, Raja Kediri) menjadi Adhipati Dalem.
Arya Kenceng adalah putra ke 3 dan yang pertama adalah Raden Cakradara menjadi suami dari Ratu Tribhuwana, Raja Majaphit dan yang ke dua adalah Arya Damar atau Adityawarman menjadi Adhipati di Palembang.
Ksatria Kahuripan (kecuali Arya Kuthawaringin) adalah putra dari Dyah Adwaya Brahma, cucu dari Prabu Jayasabha (Raja Kediri). Dyah Adwaya Brahma pada saat Pemerintahan Prabu Kertanegara di Singosari menjabat sebagai Menteri Hi Ino dan menikah dengan Dara Jingga sedangkan Dara Pethak dinikahi oleh Raden Wijaya, Raja Majapahit I. Sedangkan isteri dari Arya Kenceng adalah seorang Brahmani yang berasal dari Ketepeng Reges (Majapahit) bersaudara kandung dengan isterinya Arya Sentong dan isterinya Dalem Ketut Sri Kresna Kapakisan (mengenai hubungan kekerabatan antara Ksatria Kediri dengan Ksatria Kahuripan penulis telah merangkumnya dalam satu Silsilah.
Berdasarkan silsilah Sri Nararya Kresna Kapakisan yang ada di Pura Dalem Agung Kawitan Sri Nararya Kresna Kapakisan di Br. Dukuh Gelgel, Klungkung, bahwa prati sentana Arya Kapakisan saat ini tersebar diseluruh Bali dan Lombok serta menurunkan Raja-raja terkemuka antara lain :
1. Raja-raja di Puri Agung Karangasem & Lombok
Prati sentana dari Kiayi Agung Nyuhaya
2. Raja-raja di Puri Agung Keramas
Prati sentana dari Kiayi Agung Maruti/Raja Bali/Dalem Gelgel tahun 1651 –
1677 M
3. Raja-raja di Puri Agung Mengwi
Prati sentana dari I Gusti Agung Putu/I Gusti Agung Ngurah Made Agung
Bima Sakti/Cokorda Sakti Blambangan.
4. Raja-raja di Puri Agung Jembrana.
Prati sentana dari I Gusti Alit Takmung /Anak Agung Ngurah Gde
Jembrana).
Tokoh terkemuka yang muncul saat ini dari ke 4 puri tersebut adalah :
- Anak Agung Gde Agung (Bupati Mangupura) dan
- I Gusti Ayu Dewi Jaksa ( Pengurus PDIP Pusat).
Naskah ini disusun berdasarkan :
1. Sejarah/silsilah raja-raja di tanah Jawa, Dinas Urusan Istana Mangkunegaran
Surakarta.
2. Kumpulan naskah sejarah dan silsilah, Bhisma Dewabrata.
3. Babad Tabanan, Panitia Pembangunan Pura Dang Kahyangan Dalem Sakenan,
Tabanan
4. Babad Arya Dalem Benculuk, Ketut Putru, Percetakan Mutiara, Singaraja,
5. Sejarah Bali Dwipa, Narendra Dev. Pandit Shastri, Denpasar tahun 1963
6. Berbakti Kepada Kawitan (Leluhur) adalah Paramo Dharmah, Ktut Soebandi,
Yayasan Adhi Sapta Kerthi, Denpasar tahun 1985.
7. Babad Arya Kenceng Tegehkuri, Dra. Segatri Putra, Gst, Denpasar 11 Juni 1990
8. Babad Arya Kutawaringin, Drs. Ida Bagus Rai Putra,Upada Sastra tahun 1991
9. Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, AA Gde Darta Cs, Upada Sastra,
Denpasar tahun 1996.
10. Asal Usul Warga Pande di Bali, Nyoman Wista Darmada dan Made Gede Sutama,
CV.Bali Media, Denpasar, Januari 1998
11. Buku Leluhur Orang Bali dari Dunia Babad dan Sejarah, Drs. I Nyoman Singgih
Wikarman, Paramita Surabaya tahun 1998.
12. Babad Keloping, Drs. KM Suhardana, Pustaka Manik Geni, Denpasar tahun 2001
13. Babad Prati Sentana Sri Nararya Kresna Kepakisan, Yayasan Kresna Dananjaya,
Denpasar tahun 2002.
14. Buku Sejarah untuk Kelas 2 SMA , Prof, M. Habib Mustopo dkk, Yudistira, Malang
April 2004
15. Babad Nyuhaya, Drs. KM Suhardana, Paramita Surabaya tahun 2005